Aspek Hukum dalam Ekonomi Semester 4 (Tugas 3)



Tugas Softskills
KASUS ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT



            Nama                   : Dea Khirana
          Kelas                    : 2EB30
          NPM                     : 22214581
          Mata Kuliah          : Aspek Hukum dalam Ekonomi#
            Dosen                    : Widiyarsih




JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2015/2016





Cegah Monopoli, Pemerintah Diminta Segera Atur Transportasi Berbasis Aplikasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti kebijakan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz, menyayangkan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh supir taksi konvensional yang melarang beroperasinya perusahaan jasa angkutan berbasis online.
Menurut Faiz, pemerintah harus segera mengambil tindakan dengan membuat regulasi yang dapat mengikat perusahaan aplikasi transportasi, penyedia jasa angkutan berbasis aplikasi, dan konsumen.
Langkah yang bisa diambil adalah segera merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Revisi itu dengan memasukan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi dalam regulasi.
"Pemerintah seharusnya mengatur transportasi berbasis aplikasi. Kalau tidak akan selalu terjadi pertemuan konflik antardua kepentingan," ujar Faiz ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (22/3/2016).
Faiz menjelaskan, selama ini Pemerintah belum bisa mengakomodasi konflik kepentingan antarpenyedia jasa, supir taksi dan pengguna layanan. Konflik tersebut terjadi karena tidak adanya pembatasan mengenai penerapan tarif yang jelas.
Perusahaan taksi konvensional berkeberatan dengan penerapan tarif taksi berbasis online yang relatif murah. Mereka menginginkan pengaturan tarif yang adil.
Sedangkan konsumen menginginkan tarif yang murah dan fasilitas yang nyaman serta aman.
"Pemerintah harus membuat peraturan yang seimbang untuk mengakomodasi seluruh kepentingan tersebut," kata dia.
Faiz menambahkan, Pemerintah juga harus memperhatikan adanya dugaan praktik jual rugi atau predatory pricing yang selama ini dialamatkan pada perusahaan jasa angkutan berbasis online. Jika tidak diatur, maka hal itu akan menimbulkan monopoli.
Predatory pricing merupakan praktik yang dilarang, di mana sebuah perusahaan akan menerapkan harga semurah mungkin agar kompetitor lain tidak mampu bersaing dan terlempar dari pasar.
Setelah itu, secara perlahan perusahaan akan memonopoli pasar dan menaikan harga. "Ada semacam dugaan penerapan jual rugi atau predatory pricing yang bisa membuat perusahaan taksi konvensional gulung tikar. Praktik seperti ini dilarang dalam pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1990," kata Faiz.
Ia pun mengusulkan, selain membuat peraturan hukum, Pemerintah juga harus menerapkan tarif batas bawah, seperti yang pernah dilakukan Menteri Perhubungan dengan menentukan tarif batas bawah di sektor penerbangan untuk kelas ekonomi.
"Peristiwa ini seharusnya kembali menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam lagi untuk serius membenahi kerangka hukum untuk memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi sehingga kontroversi semacam ini tidak terulang kembali," pungkasnya.







Opini saya:
Menurut saya, kemajuan Teknologi tidak bisa disalahkan. Seiring perubahan zaman dan di era globalisasi ini, Teknologi sudah sangat diperlukan untuk mengeifisienkan waktu dan jarak. Dan contoh dari kemajuan Teknologi tersebut adalah berkembangnya Angkutan Umum berbasis Online seperti ojek dan taxi online. Di Indonesia sendiri sejak awal tahun 2015, tak dapat dipungkiri kemajuan ojek dan taxi online tumbuh subur dan menjamur diberbagai kota-kota besar di Indonesia. Peminatnya pun mulai dari anak-anal, remaja, dan kalangan dewasa, serta laki-laki atau pun perempuan. Saya sendiri, sebagai generasi era kemajuan bidang Teknologi ini merasakan manfaatnya. Saya merasakan sendiri bagaimana ojek dan taxi berbasis online memudahkan saya dalam mencari angkutan umum dalam waktu yang relatif singkat dan mengefisiensi waktu yang saya punya.
Akhirnya pun dampaknya juga mulai bermunculan, seperti persaingan tidak sehat antara ojek dan taxi konvensional versus ojek dan taxi berbasis online. Pro dan Kontra pun tak dapat dihindarkan, sehingga pada hari Selasa tanggal 22 Maret 2016 terjadi kericuhan anatara ojek dan taxi konvensional versus ojek dan taxi berbasis online. Dikarenakan angkutan berbasis online telah merebut penumpang angkutan konvensional. Namun menurut saya alasan ini kurang tepat, karena jika alasan para demonstran menolak keberadaan Taxi berbasis aplikasi online dengan tuduhan menyabot "rezeki" atau "lahan" pelanggan (customer) adalah alasan yang patut ditertawakan.  Mengada ngada dan sangat kekanak kanakan. Di sinilah keunggulan Teknologi yang sangat mematikan mereka yang bersaing usaha masih bersifat tradisional.  Teknologi tidak bisa dijadikan kambing hitam atau alasan penolakan tersebut.
Saya sepakat dengan arahan Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir H. Joko Widodo yang baru saja berkunjung ke Sanggau (Kalimantan Barat) kemarin dalam rangka peresmian Jembatan Tayan, agar Teknologi Taxi berbasis aplikasi Online ini agar dievaluasi secara adil.  Saya sepakat dengan beliau.  Alasan saya juga sederhana, Pertama, teknologi tidak bisa dicegah atau dibendung. Kedua, bahwa permasalahannya harus duduk bersama baik dari pihak operator Taxi umum, Taxi Aplikasi Online, Menteri Perhubungan, MenKominfo, Gubernur  dan pihak yang terkait lain di dalamnya.
             Mari kita pecahkan perselisihan usaha antara Taxi apikasi online dengan Taksi atau angkutan umum konvensional.  Harus ada penyelesaian dan atau pengaturan yang adil tanpa ada satu pihak yang tersakiti.




Ditinjau dari Aspek Hukum dalam Ekonomi:
Jika dilihat berdasarkan Aspek Hukum dalam kasus tersebut, yaitu berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ada beberapa pasal yang berkaitan dengan kasus diatas, yaitu:
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan
atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau
tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh
lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Tips Bisnis Kafe Atau Kedai Kopi